2.1.
Rupture
Uteri
a.
Pengertian
Ruptur uteri adalah robekan di dinding uterus, dapat terjadi
selama periode ante natal saat induksi, selama persalinan dan kelahiran bahkan
selama stadium ke tiga persalinan(Chapman, 2006;h.288).
b.
Penyebab
1. Rupture
jaringan parit uterus
-
Jaringan
parut seksio sesarea ( merupakan penyebab terbanyak)
-
Riwayat
kuretase atau perforasi uterus
-
Trauma
abdomen
2. Persalinan yang terhambat akibat
disproporsi cephalopelvik
3. Stimulasi yang berlebihan pada
uterus pada induksi persalinan
4. Peregangan uterus yang berlebihan
5. Neoplasia Trofoblastik Gestasional
6. Pelepasan plasenta yang sulit secara
manual
7. Penemuan yang tidak berhubungan
dengan ruptura uteri:
-
Infus
oksitosin dengan dosis berlebihan
-
Kontraksi
5x atau lebih dalam 10 menit
-
Kontraksi
tetanik selama lebih dari 90 detik
c.
Tanda
Gejala
Gejala dan tanda ruptura uteri
sangat ber variasi. Secara klasik, ruptura uteri ditandai dengan nyeri abdomen akut dan perdarahan pervaginam berwarna merah
segar serta keadaan janin yang
memburuk.
Tanda
dan Gejala Klinis Ruptur Uteri
1. Tanda dan gejala ruptur uteri dapat
terjadi secara dramatis atau tenang.
2. Dramatis.
3. Nyeri tajam, yang sangat pada
abdomen bawah saat kontraksi hebat memuncak.
4. Penghentian kontraksi uterus
disertai hilangnya rasa nyeri
5. Perdarahan vagina ( dalam jumlah
sedikit atau hemoragi )
6. Terdapat tanda dan gejala syok,
denyut nadi meningkat, tekanan darah menurun dan nafas pendek ( sesak )
7. Temuan pada palpasi abdomen tidak
sama dengan temuan terdahulu
8. Bagian presentasi dapat
digerakkan diatas rongga panggul
9. Janin dapat tereposisi atau
terelokasi secara dramatis dalam abdomen ibu
10. Bagian janin lebih mudah dipalpasi
11. Gerakan janin dapat menjadi kuat dan
kemudian menurun menjadi tidak ada gerakan dan DJJ sama sekali atau DJJ masih
didengar
12. Lingkar uterus dan kepadatannya ( kontraksi
) dapat dirasakan disamping janin ( janin seperti berada diluar uterus ).
13. Tenang
14. Kemungkinan terjadi muntah
15. Nyeri tekan meningkat diseluruh
abdomen
16. Nyeri berat pada suprapubis
17. Kontraksi uterus hipotonik
18. Perkembangan persalinan menurun
19. Perasaan ingin pingsan
20. Hematuri ( kadang-kadang kencing
darah )
21. Perdarahan vagina ( kadang-kadang )
22. Tanda-tanda syok progresif
23. Kontraksi dapat berlanjut tanpa
menimbulkan efek pada servik atau kontraksi mungkin tidak dirasakan
24. DJJ mungkin akan hilang
d.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ruptur uteri
adalah sebagai berikut :
1.
Perbaiki
kehilangan darah dengan pemberian infus Intravena cairan (NaCl 0,9% atau Ringer
Laktat) sebelum pembedahan.
2.
Siapkan
untuk tranfusi darah
3.
Lakukan
seksio sesarea, segera lahirkan bayi dan
lahirkan plasenta segera setelah kondisi ibu stabil.
4.
Jika
uterus dapat diperbaiki dengan resiko
operasi lebih rendah daripada resiko pada histerektomi dan ujung ruptur uterus tidak nekrosis lakukan
histerorafia. Tindakan ini akan mengurangi waktu dan kehilangan darah saat
histerektomi.
5.
Lakukan
perbaikan robekan pada dinding uterus (histerorafia) dengan langkah sebagai
berikut :
a. Kaji ulang prinsip pembedahan
b. Berikan antibiotik dosis tunggal (
ampisilin 2 G I.V, sefazolin 1 gI.V)
c. Buka perut :
1. Lakukan insisi vertikal pada line
alba dari umbilikus sampai pubis.
2. Lakukan insisi vertikal2-3 cm pada
fasia, lanjutkan insisi keatas dan kebawah dengan gunting
3. Pisahkan muskulus rektus abdominis
kiri
4. Buka peritoneum dekat umbilikus
dengan tangan, jaga agar jangan melukai kandung kemih.
5. Periksa rongga abdomen dan robekan
uterus dan keluarkan darah beku.
6. Pasang rektaktor kandung kemih.
d. Lahirkan bayi dan plasenta
e. Berikan oksitosin 10 IU dalam 500 ml
cairan infus (NaCl atau Ringer Laktat)
f. Angkat uterus untuk melihat seluruh
luka uterus
g. Periksa bagian depan dan belakang
uterus
h. Klem perdarahan dengan ring forceps.
i.
Pisahkan kandung kemih dari segmen bawah rahim
secara tumpul atau tajam.
j.
Lakukan
penjahitan robekan uterus.
k. Jika uterus tidak dapat diperbaiki lakukan
histerektomi.
e.
Pencegahan
Strategi pencegahan kejadian ruptura
uteri langsung adalah dengan memperkecil jumlah pasien dengan resiko ; kriteria
pasien dengan resiko tinggi ruptura uteri adalah:
1.
Persalinan
dengan SC lebih dari satu kali
2.
Riwayat
SC classic ( midline uterine incision )
3.
Riwayat
SC dengan jenis “low vertical incision “
4.
LSCS
dengan jahitan uterus satu lapis
5.
SC
dilakukan kurang dari 2 tahun
6.
LSCS
pada uterus dengan kelainan kongenital
7.
Riwayat
SC tanpa riwayat persalinan spontan per vaginam
8.
Induksi
atau akselerasi persalinan pada pasien dengan riwayat SC
9.
Riwayat
SC dengan janin makrosomia
10.
Riwayat
miomektomi per laparoskop atau laparotomi
Ibu hamil dengan 1 kriteria diatas
akan memiliki resiko 200 kali lebih besar dibandingkan ibu hamil umumnya.
f.
Komplikasi
1. Gawat janin
2. Syok hipovolemik
Terjadi kerena
perdarahan yang hebat dan pasien
tidak segera mendapat infus cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya
dalam waktu cepat digantikan dengan tranfusi darah.
3. Sepsis
Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien
kiriman dimana ruptur uteri telah terjadi sebelum tiba di Rumah Sakit dan telah
mengalami berbagai manipulasi termasuk periksa dalam yang berulang. Jika dalam
keadaan yang demikian pasien tidak segera memperoleh terapi antibiotika yang
sesuai, hampir pasti pasien akan menderita peritonitis yang luas dan menjadi
sepsis pasca bedah.
4.
Kecacatan
dan morbiditas.
a. Histerektomi merupakan cacat
permanen, yang pada kasus belum punya anak hidup akan meninggalkan sisa trauma
psikologis yang berat dan mendalam.
b. Kematian maternal /perinatal yang
menimpa sebuah keluarga merupakan komplikasi sosial yang sulit mengatasinya.
g.
Dampak
Dampak dari terjadinya
rupture ini antar lainterjadinya infeksi pada luka jahitan dimana dapat
merambat pada saluran kandung kemih ataupun pada jalan lahir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar