Selasa, 31 Mei 2016

PWS KIA Bab 1- OMPK



Buku PWS KIA Bab 1
Buku PWS BAB 1

BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemantauan Wilayah Setempat (PWS)  telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun
1985. Pada saat itu pimpinan puskesmas maupun pemegang program di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota belum mempunyai alat pantau yang dapat memberikan data yang cepat
sehingga pimpinan dapat memberikan respon atau tindakan yang cepat dalam wilayah
kerjanya. PWS dimulai dengan program Imunisasi yang dalam perjalanannya, berkembang
menjadi PWS-PWS lain seperti PWS-Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) dan PWS Gizi.
Pelaksanaan PWS imunisasi berhasil baik, dibuktikan dengan tercapainya Universal Child
Immunization (UCI)  di Indonesia pada tahun 1990. Dengan dicapainya cakupan program
imunisasi, terjadi penurunan AKB yang signifikan. Namun pelaksanaan PWS dengan indikator
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) tidak secara cepat dapat menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI)
secara bermakna walaupun cakupan pelayanan KIA meningkat, karena adanya faktor-faktor
lain sebagai penyebab kematian ibu (ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dsb). Dengan
demikian maka PWS KIA perlu dikembangkan dengan memperbaiki mutu data, analisis  dan
penelusuran data.
Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Neonatus (AKN), Angka Kematian Bayi
(AKB),  dan  Angka Kematian Balita (AKABA)  merupakan beberapa indikator status kesehatan
masyarakat. Dewasa ini AKI dan AKB di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara
ASEAN lainnya. Menurut data  Survei  Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)  2007, AKI
228 per 100.000 kelahiran hidup, AKB 34  per 1.000 kelahiran hidup, AKN 19 per 1.000
kelahiran hidup, AKABA 44 per 1.000 kelahiran hidup.
Penduduk Indonesia pada tahun 2007 adalah 225.642.000 jiwa dengan CBR 19,1 maka
terdapat 4.287.198 bayi lahir hidup. Dengan AKI 228/100.000 KH berarti ada 9.774 ibu
meninggal per tahun atau 1 ibu meninggal tiap jam oleh sebab yang berkaitan dengan
kehamilan, persalinan dan nifas. Besaran kematian Neonatal, Bayi dan Balita jauh lebih tinggi,
dengan AKN 19/1.000 KH, AKB 34/1.000 KH dan AKABA 44/1.000 KH berarti ada 9 Neonatal,
17 bayi dan 22 Balita meninggal tiap jam.
Berdasarkan kesepakatan global  (Millenium Development Goals/MDGs, 2000)
pada tahun 2015 diharapkan Angka Kematian Ibu menurun sebesar tiga-perempatnya dalam
kurun waktu 1990-2015 dan Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita menurun sebesar
dua-pertiga dalam kurun waktu 1990-2015. Berdasarkan hal itu Indonesia mempunyai
komitmen untuk menurunkan Angka Kematian Ibu menjadi 102/100.000 KH, Angka Kematian
Bayi dari 68 menjadi 23/1.000 KH, dan Angka  Kematian Balita 97 menjadi 32/1.000 KH pada
tahun 2015.
Penyebab langsung kematian Ibu sebesar 90% terjadi pada saat persalinan dan segera
setelah persalinan (SKRT 2001). Penyebab langsung kematian Ibu adalah perdarahan (28%),
eklampsia (24%) dan infeksi (11%). Penyebab tidak langsung kematian Ibu antara lain  Kurang
Energi Kronis/KEK pada kehamilan (37%) dan anemia pada kehamilan (40%). Kejadian anemia
pada ibu hamil ini akan meningkatkan risiko terjadinya kematian ibu dibandingkan dengan ibu
yang tidak anemia. Sedangkan berdasarkan laporan rutin PWS tahun 2007, penyebab langsung
kematian ibu adalah perdarahan (39%), eklampsia (20%), infeksi (7%) dan lain-lain (33%).
Menurut RISKESDAS 2007, penyebab kematian neonatal 0 – 6 hari adalah gangguan
pernafasan  (37%), prematuritas (34%), sepsis (12%), hipotermi (7%), kelainan darah/ikterus
(6%), postmatur (3%) dan kelainan kongenital (1%). Penyebab kematian neonatal 7 – 28 hari
adalah sepsis (20,5%), kelainan kongenital (19%), pneumonia (17%),  Respiratori Distress
Syndrome/RDS (14%), prematuritas (14%), ikterus (3%), cedera lahir (3%), tetanus (3%),
defisiensi nutrisi (3%) dan  Suddenly Infant Death Syndrome/SIDS (3%). Penyebab kematian
bayi (29 hari  –  1 tahun) adalah diare (42%), pneumonia (24%), meningitis/ensefalitis (9%),
kelainan saluran cerna (7%), kelainan jantung kongenital dan hidrosefalus (6%), sepsis (4%),
tetanus (3%) dan lain-lain (5%). Penyebab kematian balita (1 – 4 tahun) adalah diare (25,2%),
pneumonia (15,5%),  Necrotizing Enterocolitis E.Coli/NEC (10,7%), meningitis/ensefalitis
(8,8%), DBD (6,8%), campak (5,8%), tenggelam (4,9%) dan lain-lain (9,7%).
Upaya untuk mempercepat penurunan AKI telah dimulai sejak akhir tahun 1980-an
melalui program Safe Motherhood Initiative  yang mendapat perhatian besar dan dukungan
dari berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri. Pada akhir tahun 1990-an secara
konseptual telah diperkenalkan lagi upaya untuk menajamkan strategi dan intervensi dalam
menurunkan AKI melalui  Making Pregnancy Safer (MPS)  yang dicanangkan oleh
pemerintah pada tahun 2000. Sejak tahun 1985 pemerintah merancang  Child Survival (CS)
untuk penurunan AKB. Kedua Strategi tersebut diatas telah  sejalan dengan Grand Strategi
DEPKES tahun 2004.
Rencana Strategi  Making Pregnancy Safer (MPS)  terdiri dari 3 pesan kunci dan 4
strategi.
Tiga pesan kunci MPS adalah :
1.  Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.
2.  Setiap komplikasi obsetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat.
3.  Setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap upaya pencegahan kehamilan yang
tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.
Empat strategi MPS adalah :
1.  Peningkatan kualitas dan akses pelayanan  kesehatan Ibu dan Bayi dan Balita di tingkat
dasar dan rujukan.
2.  Membangun kemitraan yang efektif.
3.  Mendorong pemberdayaan perempuan, keluarga dan masyarakat.
4.  Meningkatkan Sistem Surveilans, Pembiayaan, Monitoring dan informasi KIA.
Rencana Strategi Child Survival (CS) terdiri dari 3 pesan kunci dan 4 strategi.
Tiga pesan kunci CS adalah:
1.  Setiap bayi dan balita memperoleh pelayanan kesehatan dasar paripurna.
2.  Setiap bayi dan balita sakit ditangani secara adekuat.
3.  Setiap bayi dan balita tumbuh dan berkembang secara optimal.
Empat strategi CS adalah:
1.  Peningkatan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu, bayi baru lahir dan balita yang
berkualitas berdasarkan bukti ilmiah
2.  Membangun kemitraan yang efektif melalui kerjasama lintas program, lintas sektor dan
mitra lainnya dalam melakukan advokasi untuk memaksimalkan sumber daya yang tersedia
serta memantapkan koordinasi perencanaan kegiatan MPS dan child survival.
3.  Mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui kegiatan peningkatan pengetahuan
untuk menjamin perilaku yang menunjang kesehatan ibu, bayi baru lahir dan balita serta
pemanfaatan pelayanan kesehatan yang tersedia.
4.  Mendorong keterlibatan masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan pelayanan
kesehatan ibu, bayi baru lahir dan balita.
Sehubungan dengan  penerapan sistim desentralisasi dan memperhatikan PP 38/2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan PP 41/2007 tentang Struktur Organisasi Pemerintah di
Daerah,  maka pelaksanaan strategi MPS di daerahpun diharapkan dapat lebih terarah dan
sesuai dengan permasalahan setempat. Dengan adanya variasi antar daerah dalam hal
demografi dan geografi maka kegiatan dalam program  Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)  perlu
disesuaikan.
Agar pelaksanaan program KIA dapat berjalan lancar, aspek peningkatan mutu
pelayanan program KIA tetap diharapkan menjadi kegiatan prioritas ditingkat Kabupaten/Kota.
Peningkatan mutu program KIA juga dinilai dari besarnya cakupan program di masing-masing
wilayah kerja. Untuk itu, besarnya cakupan pelayanan KIA di suatu wilayah kerja perlu dipantau
secara terus menerus, agar diperoleh gambaran yang jelas mengenai kelompok mana dalam
wilayah kerja tersebut yang paling rawan. Dengan diketahuinya lokasi rawan kesehatan ibu dan
anak, maka wilayah kerja tersebut dapat lebih diperhatikan dan dicarikan pemecahan
masalahnya. Untuk memantau cakupan pelayanan KIA tersebut dikembangkan sistem
Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA).
B. Pengertian
Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA)  adalah
alat manajemen untuk melakukan pemantauan program KIA di suatu wilayah kerja secara terus
menerus, agar dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat. Program KIA yang dimaksud
meliputi pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi kebidanan, keluarga
berencana, bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan komplikasi, bayi, dan balita. Kegiatan PWS
KIA terdiri dari pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data serta penyebarluasan
informasi ke penyelenggara program dan pihak/instansi terkait dan tindak lanjut.
Definisi dan kegiatan PWS tersebut sama dengan definisi Surveilens. Menurut WHO,
Surveilens adalah suatu kegiatan sistematis berkesinambungan, mulai  dari kegiatan
mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya dijadikan
landasan yang esensial dalam membuat rencana, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan
kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan surveilens dalam kesehatan ibu dan anak
adalah dengan melaksanakan PWS KIA.
Dengan PWS KIA diharapkan cakupan pelayanan dapat ditingkatkan dengan
menjangkau seluruh sasaran di suatu wilayah kerja. Dengan terjangkaunya seluruh sasaran
maka diharapkan seluruh kasus dengan faktor risiko atau komplikasi dapat ditemukan sedini
mungkin agar dapat memperoleh penanganan yang memadai.
Penyajian PWS KIA juga dapat dipakai sebagai alat advokasi, informasi dan komunikasi
kepada sektor terkait, khususnya  lintas sektor  setempat yang berperan dalam pendataan dan
penggerakan sasaran. Dengan demikian PWS KIA dapat digunakan untuk memecahkan
masalah teknis dan non teknis. Pelaksanaan PWS KIA  harus  ditindaklanjuti dengan upaya
perbaikan dalam pelaksanaan pelayanan KIA, intensifikasi manajemen program, penggerakan
sasaran dan sumber daya yang diperlukan dalam rangka meningkatkan jangkauan dan mutu
pelayanan KIA. Hasil analisis PWS KIA di tingkat puskesmas dan kabupaten/kota dapat
digunakan untuk menentukan puskesmas dan desa/kelurahan yang rawan. Demikian pula hasil
analisis PWS KIA di tingkat propinsi dapat digunakan untuk menentukan kabupaten/kota yang
rawan.
C. Tujuan
Tujuan umum :
Terpantaunya cakupan dan mutu pelayanan KIA secara terus-menerus di setiap wilayah kerja.
Tujuan Khusus :
1.  Memantau pelayanan KIA secara Individu melalui Kohort
2.  Memantau kemajuan pelayanan KIA dan cakupan indikator KIA secara teratur (bulanan)
dan terus menerus.
3.  Menilai kesenjangan pelayanan KIA terhadap standar pelayanan KIA.
4.  Menilai kesenjangan pencapaian cakupan indikator KIA terhadap target yang ditetapkan.
5.  Menentukan sasaran individu dan wilayah prioritas yang akan ditangani secara intensif
berdasarkan besarnya kesenjangan.
6.  Merencanakan tindak lanjut dengan menggunakan sumber daya  yang tersedia dan yang
potensial untuk digunakan.
7.  Meningkatkan peran  lintas sektor  setempat dalam penggerakan sasaran dan mobilisasi
sumber daya.
8.  Meningkatkan peran serta dan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan KIA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar